Facebook

Sabtu, 11 Juli 2015

Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian Anak Usia Dini

Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian Anak Usia Dini

Desmita (2011:187-188) memaparkan tingkatan dan karakteristik kemandirian berdasarkan pendapat Lovinger kedalam enam tingkatan sebagai berikut. Tingkatan pertama adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. ciri-cirinya antara lain: peduli terhadap kontrol dan kauntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain; mengikuti aturan secara spontanistik; berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu; dan cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.


Pada tingkatan pertama ini menunjukkan bahwa seseorang yang mandiri akan bersifat melindungi dirinya sendiri, baik itu dari segi pemikiran maupun tindakan. Sehingga jika anak telah bisa mengelak atau melindungi diri mereka sendiri maka mereka bisa digolongkan telah mandiri pada tingkatan pertama.


Tingkat kedua adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya: peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial; cenderung berpikir tertentu dan klise; peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal, bertindak dengan motif dangkal untuk memperoleh pujian; menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan takut tidak diterima kelompok; tidak sensitif terhadap keindividuan; dan merasa berdosa jika melanggar aturan. Saat usia dii mulai memperhatikan penampilan diri mereka berarti sudah dapat digolongkan pada tingkat yang kedua ini.


Tingkat ketiga adalah tingkat sadar diri. Ciri-cirinya mampu berpikir alternatif, melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi, peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada, menekankan pada pentingnya pemecahan masalah, memikirkan cara hidup, dan penyesuaian terhadap situasi peranan. Jika pada saat anak sudah mulai memikirkan bagaimana cara berpikir untuk menjalani hidup maka anak tersebut dapat digolongkan dalam tingkat ketiga ini.


Tingkatan keempat adalah tingkatan saksama (conscientious). Ciri-cirinya antara lain: bertindak atas dasar nilai-nilai internal, mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun orang lain, sadar akan tanggung jawab mampu melakukan kritik dan penilaian diri; peduli akan hubungan mutualistik, memiliki tujuan jangka panjang, cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial, dan berpikir lebih kompleks atas dasar pola analistis. Setelah anak mampu menentukan dan mengambil keputusan dengan cara setelah melakukan analitis terlebih dahulu maka anak tersebut sudah berada pada tingkatan keempat. Tingkatan kelima adalah tingkatan individualitas. Ciri-cirinya: peningkatan kesadaran individualitas, kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan, menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, mengenal eksistensi perbedaan individual, membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya, mengenal kompleksitas diri, dan peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.


Tingkatan kelima dalam kemandirian merupakan tingkatan individualitas dimana seseorang atau anak memiliki kesadaran untuk tidak bergantung pada orang lain dan lebih toleran terhadap diri sendiri maupun orang lain dalam hal masalah sosial ataupun hal yang lainnya. Tingkatan keenam adalah tingkatan mandiri. Ciri-cirinya antara lain: memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, cenderung bersikap realistik dan obyektif terhadap diri sendiri dan orang lain, peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial, mempu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment), ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal, responsif terhadap kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain, dan mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.


Tingkat keenam merupakan tingkatan yang terakhir dalam kemandirian yaitu saat anak telah memiliki pandangan hidup secara keseluruhan dan cenderung bersifat realistik

Faktor-Faktor Kemandirian

Faktor-Faktor Kemandirian Kemandirian pada anak muncul tanpa selalu dapat diprediksi melalui usia, namun dapat dilihat ketika anak sudah mulai memiliki keinginan sendiri, atau dengan kata lain tingkatan usia tidak mesti berpengaruh terhadap kemandirian anak. Ada anak yang usianya sudah beranjak dewasa atau bahkan sudah dewasa masih belum memiliki sikap mandiri. .Namun adapula anak yang usianya masih sangat dini sudah memiliki sikap yang mandiri. Sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya, kemandirian juga bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangannya juga dipengaruhi oleh berbagai individu sejak lahir Perkembangannya juga dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkungannya, selain potensi yang dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orang tuanya. Terdapat sejumlah faktor yang sering disebutkan sebagai korelat bagi perkembangan kemandirian yaitu sebagai berikut: (Ali, 2006:118)

  1. Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak dengan sifat mandiri juga. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena adanya pendapat bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan karena sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tuanya mendidik anaknya 
  2. Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan disekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat kemandirian anak. Demikian juga dengan, proses pendidikan yang menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman juga dapat menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan memperlancar kemandirian anak. 
  3. Sistem kehidupan dimasyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya hirarki struktur sosial kurang menghargai potensi anak dalam kegiatan produktif dapat menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hirarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian anak. Menurut Markum (1985) 
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemampuan berdiri sendiri / mandiri pada anak adalah:
a. Kebiasaan serba dibantu atau dilayani, misalnya orang tua selalu melayani keperluan anaknya, seperti mengerjakan rumahnya (PR), hal ini akan membuat anak manja dan tidak mau berusaha sendiri, sehingga anak menjadi tidak mandiri.
b. Sikap orang tua, misalnya orang tua yang selalu memanjakan dan memuji anaknya akan menghambat kemandirian. Karena memanja dan memuji yang terlalu berlebihan dapat membuat keinginan dan psikologi anak berkembang kurang baik begitu pula dengan kemandiriannya. Kurangnya kegiatan diluar rumah, misalnya anak tidak mempunyai kegiatan dengan teman-temannya, hal ini akan membuat anak bosan sehingga ia menjadi malas dan tidak kreatif serta mandiri.
c.  Kurangnya kegiatan diluar rumah, misalnya anak tidak mempunyai kegiatan dengan teman-temannya, hal ini akan membuat anak bosan sehingga ia menjadi malas dan tidak kreatif serta mandiri.

Jumat, 16 Januari 2015

Pengertian Anak Usia Dini

Pengertian Anak Usia Dini
Terdapat berbagai definisi mengenai anak usia dini. menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 14 yang menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untruk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak usia dini adalah anak yang berusia nol sampai 6 atau 8 tahun yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Sedangkan hakikat anak usia dini Menurut Mansur (2005: 88) anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa anak usia dini dapat disebut juga dengan istilah “golden age” atau masa emas, karena pada masa-masa (usia 0-6 tahum) ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara cepat. Perkembangan untuk setiap anak tidak dapat disamakan antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena setiap individu memiliki masa perkembangan yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan oleh makanan yang bergizi dan seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang baik bagi anak usia dini. Apabila anak usia dini diberikan stimulasi yang baik dan secara intensif dari lingkungannya, maka anak akan mampu menjalani tugas perkembangannya dengan baik