Facebook

Jumat, 24 Februari 2012

HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN

Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.

Teori Skema

Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi lebih luas dan berkembang.

Teori Skema

 Teori Skema.
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi lebih luas dan berkembang.

Teori Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.

Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Teori Belajar Konsep

Teori Belajar Konsep
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian” dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.

Progresivisme dalam ranah pendidikan anak usia dini

Progresivisme dalam ranah pendidikan itu dimulai dari anak didik itu sendiri yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Jadi seorang anak didik tidak harus di suruh membaca dan mengimani buku terus-menerus. Aliran filsafat pendidikan progresivisme dapat diuraikan menjadi beberapa pokok yaitu:
• Menolak praktek pendidikan tradisional yang terlalu dianggap mementingkan disiplin, pasif dan bertele-tele.
• Perubahan merupakan inti dari kenyataan
• Pendidikan merupakan proses perubahan
• Metode atau kebijakan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan lingkungan.
• Mutu terletak pada adanya kemampuan untuk merekonstruksi pengalaman terus-menerus bukan pada standart kebaikan, kebenaran dan keindahan pribadi
• Belajar disangkutpautkan dengan minat subjek didik

Metode mengajar dengan dasar filsafat pendidikan progresivisme antara lain adalah:
• Memberikan latihan soal berupa teka-teki kepada anak didik
• Membuat kelompok atau group belajar, dengan mengelompokkan minat masing-masing anak pada suatu topik
• Membicarakan topik yang hangat yang sedang beredar di masyarakat secara bersama-sama

Makalah Kajian Anak Usia Dini


Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
1. Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. 
2. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. 
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
1. Infant (0-1 tahun) 
2. Toddler (2-3 tahun) 
3. Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun) 
4. Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun) 

Landasan Filosofis Pelaksanaan pembelajaran tematik merupakan implementasi dari kurikulum yang berlaku. Pada saat mempertimbangkan pelaksanaan pembelajaran ini didasari pada landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan yuridis. Menurut Sukayati (2004:4), landasan filosofis dari implementasi pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat yaitu: 
(1) progresivisme, 
(2) konstruktivisme, dan 
(3) humanisme. 

Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman peserta didik. Aliran konstruktivisme melihat pengalaman langsung peserta didik(direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing peserta didik. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan peserta didikyang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Aliran humanisme melihat peserta didikdari segi keunikan/kekhasannya, potensinya, dan motivasi yang dimilikinya. 

1. PROGRESIVISME 
Progresivisme dalam ranah pendidikan itu dimulai dari anak didik itu sendiri yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Jadi seorang anak didik tidak harus di suruh membaca dan mengimani buku terus-menerus. Aliran filsafat pendidikan progresivisme dapat diuraikan menjadi beberapa pokok yaitu:
• Menolak praktek pendidikan tradisional yang terlalu dianggap mementingkan disiplin, pasif dan bertele-tele.
• Perubahan merupakan inti dari kenyataan
• Pendidikan merupakan proses perubahan
• Metode atau kebijakan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan lingkungan.
• Mutu terletak pada adanya kemampuan untuk merekonstruksi pengalaman terus-menerus bukan pada standart kebaikan, kebenaran dan keindahan pribadi
• Belajar disangkutpautkan dengan minat subjek didik

Metode mengajar dengan dasar filsafat pendidikan progresivisme antara lain adalah:
• Memberikan latihan soal berupa teka-teki kepada anak didik
• Membuat kelompok atau group belajar, dengan mengelompokkan minat masing-masing anak pada suatu topik
• Membicarakan topik yang hangat yang sedang beredar di masyarakat secara bersama-sama 

2. KONSTRUKSIVISME 
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau ……pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.

Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
a. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
e. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).

Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN

Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.

Teori Belajar Konsep
Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian” dalam memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep, bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.

Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.

Teori Skema.
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi lebih luas dan berkembang.

Konstruktivisme berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme. Bila Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila Maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah–langkah perkembangan kedewasaan. Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian Maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang lengkap. Menurut Konstruktivisme, bla seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua akan tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.
Dalam teori ini kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka berfikir dan bukan meniru saja.
Kadang–kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal mereka punya kesamaan,seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme tetapi tidak semua semua konstruktivis dengan metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlibih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri. Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.

CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
o Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia nyata
o Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
o Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
o Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
o Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid
o Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
o Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
o Menggalakkan proses inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.

PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME

Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
o Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
o Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
o Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
o Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
o Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
o Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
o Mmencari dan menilai pendapat siswa
o Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

HAKIKAT ANAK MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: 
(1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, 
(2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, 
(3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, 
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, 
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; 
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, 
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan 
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). 
Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: 
(a) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, 
(b) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan 
(c) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME

1. Kelebihan

Berfikir :D alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.

2. Kelemahan

Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.

PROSES BELAJAR MENURUT KONSTRUKVISTIK

Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
a. Proses belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
b. Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
c. Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
d. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
e. Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.

3. HUMANISME
Teori humanistik memandang tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah : Proses pemerolehan informasi baru, Personalia informasi ini pada individu. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Arthur Combs (1912-1999) Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat.
Maslow mengatakan, mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah. : Kebutuhan jasmaniah, Kebutuhan keamanan, Kebutuhan kasih sayang, Kebutuhan harga diri, Kebutuhan aktualisasi diri
Lebih jauh Maslow mengatakan, hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya, ada peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan.
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar dalam arti proses pembelajaran di kelas hendaknya lebih manusiawi. Gagasan-gagasan Carl R. Rogers itu adalah:

1. Hasrat untuk belajar : Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
2. Belajar yang berarti : Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan kebutuhan yang diinginkan peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang berarti baginya. Misalnya, anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang tersebut dapat digunakan untuk membeli barang kesukaannya.
3. Belajar tanpa ancaman : Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar ketika peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai fasilitator yang menyenangkan.
4. Belajar atas inisiatif sendiri : Bagi para humanis, belajar akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri. Peserta didik akan mampu memilih arah belajarnya sendiri, sehingga memiliki kesempatan untuk menimbang dan membuat keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
5. Belajar dan perubahan : Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi sekarang, tuntutan mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa sekarang ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah. Aliran dan teori pendidikan ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai upaya pengembangan pendidikan

Senin, 20 Februari 2012

Model Pembelajaran

Model Pembelajaran adalah Suatu design atau rancangan yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan anak berinteraksi dalam pembelajaran, sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri anak.

Adapun Komponen Model Pembelajaran meliputi ;

  • Konsep
  • Tujuan Pembelajaran
  • Materi atau tema
  • Langkah-Langkah / prosedur
  • Metode
  • Alat / sumber belajar
  • Teknik Evaluasi

Beberapa Model Pembelajaran

  • Model Pembelajaran Klasikal
  • Model Pembelajaran Kelompok dan Kegiatan Pengaman
  • Model Pembelajaran berdasarkan sudut-sudut kegiatan
  • Model Pembelajaran Area
  • Model Pembelajaran BCCT (Sentra & Lingkaran)

Penjelasan
1. MODEL PEMBELAJARAN KLASIKAL
Adalah pola pembelajaran dimana dalam waktu yang sama, kegiatan dilakukan oleh seluruh anak sama dalam satu kelas (secara klasikal). Model Pembelajaran ini merupakan model yang paling awal digunakan di TK. Dengan sarana pembelajaran yang pada umumnya sangat terbatas, serta kurang memperhatikan minat individu anak.

2. MODEL PEMBELAJARAN KELOMPOK DENGAN KEGIATAN PENGAMAN
Merupakan pola pembelajaran dimana anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok dengan kegiatan yang berbeda-beda. Anak-anak yang sudah menyelesaikan tugasnya lebih cepat daripada temannya dapat meneruskan kegiatan di kelompok lain. Jika tidak tersedia tempat anak tersebut dapat melakukan kegiatan di kegiatan pengaman.

3. MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN SUDUT-SUDUT KEGIATAN
Merupakan kegiatan yang menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang mirip dengan model pembelajaran area karena memperhatikan minat anak. Jumlah sudut yang digunakan dalam satu hari bersifat luwes sesuai dengan program yang direncanakan dengan kisaran 2-5 sudut. Dalam kondisi tertentu dimungkinkan satu sudut lebih dari satu kegiatan. Alat-alat yang disediakan pada sudut selayaknya lebih bervariasi dan sering diganti sesuai tema/sub tema yang dibahas.

Sudut-sudut kegiatan :
a. Sudut KeTuhanan
b. Sudut Keluarga
c. Sudut Alam Sekitar dan Pengetahuan
d. Sudut Pembangunan
e. Sudut Kebudayaan

Keberadaaan sudut-sudut kegiatan dapat ditempatkan di dalam kelas maupun di ruang tersendiri sesuai keadaan dan kondisi TK. Pada waktu kegiatan di sudut berlangsung guru tidak hanya berada di salah satu sudut saja, tetapi memberikan bimbingan kepada anak didik yang membutuhkan/mengalami kesulitan.
4. MODEL PEMBELAJARAN AREA
Di dalam model ini anak didik diberi kesempatan untuk memilih / melakukan kegiatan sendiri sesuai dengan minat mereka. Pembelajarannya dirancang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spesifik anak dan menghormati keragaman budaya yang menekankan pada prinsip :
Pengalaman pembelajaran pribadai setiap anak.
Membantu anak membuat pilihan dan keputusan melalui aktifitas di dalam area-area yang disiapkan.
Keterlibatan keluarga dalam proses pembelajaran.

Area yang disiapkan :
1. Area Agama
2. Area Balok
3. Area Berhitung / Matematika
4. Area IPA
5. Area Musik
6. Area Bahasa
7. Area Membaca dan Menulis
8. Area Drama
9. Area Pasir / Air
10. Area Seni dan Motorik

5. MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN SENTRA DAN LINGKARAN (Beyond Centers and Circles time)
- Pendekatan Pembelajaran yang dalam proses pembelajarannya dilakukan dalam lingkaran (Circle Times) dan sentra bermain.
- Konsep belajar dimana guru-guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.
- Merupakan pengembangan dari pendekatan Montesori, High / Scope dan Reggio Emilia.
- Dikembangkan oleh Creative Center for Childhood Research and Trainning (CCCRT) Florida, USA.

Mengapa harus BCCT ?
v Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan ALAMIAH.
v Belajar akan lebih bermakna jika anak MENGALAMI apa yang dipelajari bukan sekedar MENGETAHUI.
v Pembelajaran akan lebih BERMAKNA dan MENGENA
v BCCT belajar MENGALAMI bukan MENGHAFAL
v Penting bagi siswa tahu UNTUK APA ia belajar, dan BAGAIMANA ia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan itu.


Landasan Utama Teori BCCT
v Teori-Teori Perkembangan Otak
v Teori-teori Pendidikan
v Teori-Teori Psikologi Anak
Terutama mengacu pada teorinya :
Piaget, Erickson, Ana Frued, Vigotsky

Pernyataan Jean Piaget (1972, p.27)
Tentang Bagaimana Anak Belajar
“Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru tentu saja bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat, tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus menemukannya sendiri”.

Tujuan Pendekatan BCCT
v Mengoperasionalkan teori-teori yang ada
v Menyempurnakan pendekatan yang telah ada
v Mengoptimalkan perkembangan anak.

Sentra Bermain
Terdiri dari :
• Sentra Bahan Alam dan Sains
• Sentra Balok
• Sentra Seni
• Sentra bermain Peran
• Sentra Persiapan
• Sentra Agama
• Sentra Musik

Setiap sentra mendukung perkembangan anak dalam tiga jenis bermain :
• Sensori motor / fungsional
• Bermain Peran
• Konstruktif (membangun pemikiran anak)

4 Pijakan yang harus dilalui
Pijakan (Scaffolding Process) adalah dukungan yang berubah-ubah yang disesuaikan dengan perkembangan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi.

Pijakan Lingkungan Bermain
Dilakukan dengan menata alat dan bahan bermain yang akan digunakan sesuai rencana dan jadwal kegiatan yang telah disusun untuk memberikan gagasan kepada anak agar dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal.
Pijakan sebelum bermain
Guru memberikan gagasan sebelum anak melakukan kegiatan bermain di sentra.

Pijakan selama bermain
Dukungan yang diberikan guru secara individual kepada anak sesuai kebutuhan dan tahap perkembangan untuk meningkatkan pada tahap perkembangan selanjutnya.

Pijakan setelah bermain
Guru memperkuat konsep yang telah diperoleh anak selama bermain.


Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas model pembelajaran sentra meliputi pengelolaan secara klasikal, kelompok, dan individual. Pada saat kegiatan pembukaan, saat kegiatan penutup, dan saat makan bersama, guru menggunakan pengeLolaan secara klasikal tetapi pada saat kegiatan inti menggunakan pengelolaan secara kelompok atau individual. Untuk itu, hal‑hal yang dilakukan oleh guru adalah sebagai berikut:
- Sentra bermain dirancang dan direncanakan sehingga semua peserta didik dapat mengikuti kegiatan untuk mencapai tahap perkembangan.
- Kegiatan pembelajaran dilengkapi dengan sentra‑sentra yang diperlukan hari itu.
- Jumlah dari kegiatan dan ragam kesempatan masing‑masing sentra sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan jumlah anak.
- Ada kesesuaian antara pijakan, sentra, dan alat yang akan dipergunakan dalam pembelajaran.

Langkah-Langkah Kegiatan
a. Penataan Lingkungan Bermain
Sebelum anak datang, guru menyiapkan bahan dan alat bermain yang digunakan sesuai rencana dan jadwal kegiatan yang telah disusun untuk kelompok yang dibimbingnya. Guru menempatkan alat dan bahan bermain yang akan digunakan yang mencerminkan rencana pembelajaran yang telah dibuat sehingga tujuan anak selama bermain dengan alat tersebut dapat dicapai.



b. Kegiatan Sebelum Masuk kelas/Penyambutan Anak (10 menit)
Guru menyambut kedatangan anak dengan tegur sapa, senyum dan salam. Anak‑anak langsung diarahkan untuk bermain bebas bersama teman‑teman sambil menunggu kegiatan dimulai. Kondisi awal yang harus diketahui oleh guru dan peserta didik saat datang adalah ekspresi emosi yang menunjukkan rasa nyaman berada di sekolah. Bila kondisi ekspresi emosi anak saat datang menunjukkan kesedihan/murung, maka guru perlu menetralisir emosi anak terlebih dahulu dengan kegiatan transisi, seperti membaca buku cerita, puzzle, dan sebagainya.

c. Pembukaan/Pengalaman Gerakan Kasar (20 menit)
Guru menyiapkan seluruh anak dalam lingkaran, lalu menyebutkan kegiatan pembuka yang akan dilaksanakan. Kegiatan pembuka dapat berupa gerak musik, permainan, dan jurnal, dan sebagainya. Satu guru yang memimpin, guru lainnya menjadi peserta bersama anak (mencontohkan).

Anak dikondisikan duduk melingkar (circle time). Dalam setiap kelompok melakukan kegiatan berdoa, diskusi tema, membacakan buku cerita yang berhubungan dengan tema pada hari itu.

d. Transisi (10 Menit)
Selesai pembukaan, anak‑anak diberi waktu untuk "pendinginan" dengan cara bernyanyi dalam lingkaran, atau membuat permainan tebak‑tebakan. Tujuannya agar anak kembali tenang. Setelah tenang, anak secara bergiliran dipersilahkan untuk minum atau ke kamar kecil. Gunakan kesempatan ini untuk melatih kebersihan diri anak. Kegiatannya dapat berupa cuci tangan, cuci muka, cuci kaki maupun buang air kecil.
Sambil menunggu anak minum atau ke kamar kecil, masing‑masing guru siap di tempat bermain yang sudah disiapkan untuk kelompoknya masing‑masing.

e. Kegiatan Inti (90 menit)
1) Pijakan pengalaman Sebelu m Bermain (15 menit)
Guru dan anak duduk melingkar, guru memberi salam pada anak‑anak, kabar anak‑anak, dan dilanjutkan dengan kegiatan:
a) Guru meminta anak untuk memperhatikan siapa teman yang tidak hadir. Minta anak mengambil "nametag" dan menempelkan ke papan absen, membalik, atau menunjukkan.
b) Berdoa bersama, anak secara bergilir memimpin doa.
c) Guru menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak.
d) Guru membacakan buku yang terkait dengan tema. Setelah selesai, menyanyakan kembali isi cerita.
e) Guru mengatkan isi cerita dengan kegiatan bermain yang dilakukan anak.
f) Guru mengenalkan semua tempat dan alat bermain yang suclah disiapkan.
g) Dalam memberi pijakan, guru harus mengaitkan kemampuan apa yang diharapkan muncul pada anak, sesuai rencana pembelajaran yang telah disusun.
h) Guru menyampaikan bagaimana aturan bermain (digali dari anak), memilih ternan bermain, memilih alat bermain, cara menggunakan alat‑alat, kapan memulaii dan mengakhih bermain, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan.
i) Guru mengatur teman lain dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak tertentu sebagai teman mainnya, maka guru agar menawarkan untuk menukar teman mainnya.
j) Setelah anak siap bermain, guru mempersilahkan anak untuk mulai bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, guru dapat menggilir kesempatan setiap anak untuk mulai bermain, misainya berclasarkan warna baju, usia anak, huruf depan nama anak, atau cara lainnya agar lebih teratur.

2) Pijakan Pengalaman Selama Bermain (60 menit)
a) Guru mengamati dan memastikan semua anak melakukan kegiatan bermain.
b) Memberi contoh cara bermain pada anak yang belum bisa menggunakan bahan alat.
c) Memberi dukungan berupa pernyataan positif tentang pekedaan yang dilakukar anak.
d) Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluas cara bermain anak Pertanyaan terbuka artinya pertanyaan yang ticlak cukup dengan dijawab ya ata tidak saja, tetapi banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan anak.
e) Memberikan bantuan pada anak yang membutuhkan.
f) Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak memilik pengalaman bermain yang kaya.
g) Mencatat yang dilakukan anak jenis bermain, tahap perkembangan, taha sosial).
h) Mengumpulkan hasil kerja anak. Jangan lupa mencatat nama dan tanggal lembar kerja anak.
i) Bila waktu tinggal 5 menit, guru memberitahukan pada anak-anak untuk bersiap-siap menyelesaikan kegiatan mainnya.

3) Pijakan Pengalaman Setelah Bermain (15 menit)
a) Apabila waktu bermain selesai, guru memberitahukan saatnya membereskan alat dan bahan yang sudah digunakan melibatkan anak-anak.
b) Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, guru dapat membuat permainan yang menarik agar anak ikut membereskan.
c) Saat membereskan, guru menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat bermain sesuai dengan tempatnya.
d) Bila bahan mainan sudah dirapikan kembali, satu guru membantu anak membereskan baju anak (menggantinya bila basah), sedangkan guru lainnya dibantu orang tua membereskan semua mainan hingga semua rapi di tempatnya.
e) Bila anak sudah rapim mereka diminta duduk melingkar bersama guru. Setelah semua anak duduk dalam lingkaan, guru menanyakan pada setiap anak kegiatan bermain yang telah dilakukan pada hari itu. Kegiatan menanyakan kembali (recalling) melatih daya ingat anak mengemukakan gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak).

f. Makan Bersama (10 menit)
1) Usahakan setiap pertemuan ada kegiatan makan bersama. Jenis makanan berupa kue atau makanan lainnya yang disiapkan sekolah atau yang dibawa oleh masing-masing anak. Sekali dalam satu bulan diupayakan ada makanan yang disediakan untuk perbaikan gizi.
2) Sebelum makan bersama, guru mengecek apakah ada anak yang tidak membawa makanan. Jika ada tanyakan siapa yang mau berbagi makanan pada temannya.
3) Guru memberitahukan jenis makanan yang baik dan kurang baik.
4) Jadikan waktu makanan bersama sebagai pembiasaan tata cara makan yang baik (adab makan)
5) Libatkan anak untuk membereskan bekas makanan dan membuang bungkus makanan ke tempat sampah.

g. Kegiatan Penutup (10 menit)
1) Setelah semua anak berkumpul membentuk lingkaran, guru dapat mengajak anak menyanyi atau membaca puisi. Guru menyampaikan rencana kegiatan hari berikutnya, dan menganjurkan anak untuk bermain yang sama di rumah masing-masing.
2) Guru memberi kesempatan kepada anak secara bergiliran untuk memimpin doa penutup.
3) Untuk menghindari berebut saat pulang, digunakan urutan berdasarkan warna baju, usia, atau cara lain untuk keluar dan bersalaman lebih dahulu.

Penilaian
Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru hendaknya mencatat segala hal yang terjadi, baik terhadap program kegiatan maupun terhadap perkembangan peserta didik. Segala catatan guru digunakan sebagai bahan masukan bagi keperluan plenilaian. Setiap semester, hasil laporan perkembangan anak dilaporkan kepada orang tua secara lisan dan tertulis berupa rapor dalam bentuk narasi.

Selasa, 14 Februari 2012

Problematika Pendidikan Anak Usia Dini

Problematika Pendidikan Anak Usia Dini

Hal-hal yang menjadi permasalahan pada PAUD adalah:

a. Kurangnya pemahaman masyarakat
Dalam hal ini masyarakat belum benar-benar memahami tentang keberadaan PAUD. Sebagian masyarakat memahaminya sebagai sebuah lembaga pengganti Taman kanak-kanak, sebagian memahami sebagai syarat untuk masuk Tamankanak-kanak, sebagian lagi sudah sampai pada taraf pemahaman PAUD yang sebenarnya. Keadaan yang demikian membuat partisipasi masyarakat masih relatif rendah terhadap lembaga PAUD.

b. Masih terbatasnya anggaran.
Hal ini berkenaan dengan operasioanl lembaga PAUD. Karena masih tergolong baru maka dana pemerintah sifatnya juga masih relatif terbatas. Selain itu rendahnya partisipasi masyarakat terhadap lembaga PAUD juga menjadi salah satu penyebab minimnya anggaran tersebut.


c. Belum tersedianya tenaga ahli PAUD pada tiap-tiap daerah
Dikarenakan PAUD merupakan barang baru maka aspek-aspek yang ada didalamnyapun juga kurang tersedia. Secara logika jurusan PAUD baru dibuka setelah lembaga PAUD disahkan oleh pemerintah. Paling cepat adalah 1 tahun pasca penetapan untuk menerima lulusan yang berasal dari prodi PAUD itupun masih dalam taraf diploma dan paling lama adalah 3,5 – 4 tahun untuk menjaring kompetensi lulusan s1-nya.


d. Belum tersedianya tenaga pendidik PAUD
Sebagaimana tenaga ahli tentang pengelolaa PAUD. Untuk tenaga pendidik PAUD juga memiliki permasalahan yang sama. Yaitu masih sedkit yang memiliki kompetensi yang diminta.

Karakteristik Fokus Pendidikan Anak Usia Dini

Berdasarkan UU SISDIKNAS yang sudah disebutkan datas maka fokus PAUD adalah anak-anak usia prasekolah dengan kisaran usia antara 0 sampai dengan 6 tahun. Namun dari segi praktis dimasyarakat lembaga PAUD kebanyakan warga belajarnya adalah usia 2 sampai dengan 6 tahun. Artinya
masih masih sedikit lembaga yang menyediakan layanan PAUD dengan warga belajar dengan kisaran usia 0-2 tahun.
Tujuan PAUD adalah membantu mengembangakan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral, dan agama secara optimal dalam lingkungan keluarga yang kondusif, demokratis dan kompetitif. Dalam mencapai tujuan tersebut selalu terdapat cara yang tentunya relative berbeda antara PAUD satu dengan yang lainnya. Perbedaan cara tersebut biasanya disesuaikan dengan karakter masyarakatnya yang sedikit demi sedikit diarahkan menuju karakter yang lebih umum yang tentunya merupakan karakter bangsa.

Sejarah Pendidikan Anak Usia Dini

Manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat pada usia anak-anak, yaitu usia antara 0-6 tahun. Perkembangan ditahun awal lebih kritis dibandingkan dengan perkembangan selanjutnya. Hasil penelitian berisikan masalah-masalah yang dialami oleh manusia dari bayi sampai dengan dewasa menyimpulkan bahwa ”masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang manusia”. Selain itu para ahli Neuroscince menyebut perode perkembangan masa anak-anak sebagai masa atau usia emas (golden age) yang hanya terjadi satu kali selama kehidupan manusia. Berkenaan dengan hal tersebut pemerintah telah mengembangakan berbaga macam kegiatandalam rangka pengembangan potensi anak sejak usia dini, yaitu dengan dkeluarkannya peraturan-peraturan diantaranya adalah GBHN, UU No.2 tahun 1989 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 tahun 2003, Permen Nomor 27 1990, dan Kepres 36 tahun 1990 yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 1990.

Untuk mendukung upaya pemerintah dalam hal perluasan serta peningkatan mutu layanan pendidikan, maka pada tahun 1998 melaksanakan program PADU (Pendidikan Anak Dini Usia). Kemudian pada tahun 2001 dibentuk direktorat PADU. Dalam hal ini daerah yang gencar melaksanakan program PADU adalah Jawa Barat yang mana sudah mulai aktf sejak tahun 2000.
Sebagamana dijelaskan dalam SISDIKNAS tahun 2003 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Sebelumnya PAUD hanya dipandang sebagai sebuah kegaitan informal yang mana dilaksanakan secara mandiri oleh keluarga. Kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini tersebut berlangsung secara otomatis dalam lingkungan keluarga. Materi dan sumber belajarnyapun juga seringkali hanya terbatas pada yang ada dirumah saja seperti ayah, ibu, kakek, nenek, dan anggota keluarga lainnya. Dengan kata lain sebelumnya masih sedikit masyarakat yang mengenal PAUD baik dari segi lembaga maupun PAUD yang sebenarnya.
PAUD secara sah menjadi sebuah lembaga ketika Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 juli 2003 mengesahkan adanya lembaga PAUD yang tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2005 perkembangan lembaga PAUD tumbuh dengan pesat seiring diadakannya kerjasama antara Menteri Pendidikan Nasional dengan tokoh-tokoh Organisasi Kemasyarakatan seperti Ketua Umum PKK, KOWANI, Muslimat NU dan Aisyah. Setelah itu usaha-usaha untuk mendongkrak perkembangan Kelembagaan PAUD terutama di daerah-daerah dilakukan dengan menjadikan Lembaga PAUD yang sudah maju sebagai nara sumber dalam pelatihan maupun diklat pengelolaan PAUD.

Filosofi Pendidikan Anak Usia Dini

Filosofi pendidikan merupakan kerangka landasan yang sangat fundamental bagi sistem pendidikan dan para pendidik. Kerangka filosofis memberikan gambaran tentang cara pandang guru terhadap pendidikan itu sendiri (termasuk didalamnya kurikulum, tujuan pendidikan dan isi pendidikan), anak didik dan proses pembelajaran. Kerangka filosofis harus menjadi kerangka berpikir guru atau mindset guru dalam menyelenggarakan praksis pembelajaran.
Dari sudut filosofis pendidikan, banyak ragam konsep cara pandang pelaksanaan pendidikan yang digagas oleh para filosof. Beberapa konsep filosofis tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:


a. Idealism
Pandangan tentang hakekat pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali. Pendidikan menurut idealism diartikan sebagai upaya terencana untuk mewujudkan manusia ideal yaitu manusia yang dapat mencapai keselarasan individual yang terpadu dalam keselarasan alam semesta. Sehingga upaya pendidikan harus ditujukan pada pembentukan karakter, watak, manusia yang berbudi luhur, pengembangan bakat insane, dan kebijakan social.

b. Realism
Pandangan ini menganggap bahwa pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman penginderaan yang sesuai dengan fakta. Dalam kaitannya dengan hakikat nilai, pandangan ini menyatakan bahwa standar tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam dan pada tingkatan yang lebih rendah diatur oleh kebijaksanaan yang telah teruji dalam kehidupan.
Pendidikan menurut pandangan ini adalah proses pengembangan intelegensi, daya kreatif dan sosial individu yang mendorong pada terciptanya kesejahteraan umum. Hal ini menunjukan bahwa pandangan ini selalu konsisten dengan teori belajar S-R (stimulus-respon). Maka dari itu pendidikan juga diartikan sebagai upaya pembentukan tingkah laku melalui stimulus yang diberikan oleh lingkungan.

c. Naturalism Romantic
Pandangan ini berisi tentang gagasan-gagasan yang antara lain adalah:
1) Pendidikan yang mengembangkan kemampuan-kemampuan alami atau bakat/pembawaan anak,
2) Pendidikan yang berlangsung dalam alam,
3) Pendidikan negatif

d. Pragmatism
Aliran ini beranggapan bahwa tujuan pendidikan bukanlah terminal, akan tetapi alat atau instrument untuk membuktikan kebenaran dengan menggunakan metode ekpermental. Yang melatar belakanginya adalah pandangan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak dewasa, tidak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan atau norma-norma sosial. Sesuai dengan pandangan tersebut maka hakikat manusia dipandang sebagai mahluk yang dinamis, tumbuh dan berkembang. Pengetahuan adalah instrument untuk bertindak sedangkan dalam hakikat pragmatism menyatakan bahwa tidak ada nilai yang berlaku secara universal dan absolute. Dengan kata lain tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secaraeksperimental dalam pengalaman hidup.