Facebook

Rabu, 12 September 2012

Mengatasi Fenomena Korupsi di Indonesia dengan Pendidikan Karakter Anak

A. Latar belakang masalah
     Banyak orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudidaya dan  telah merasuki seluruh masyarakat di Indonesia baik masyarakat kelas atas, menengah, maupun masyarakat kalangan bawah. Seperti kutipan dari sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.      Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
     Sedangkan untuk Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
     Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
     Namun saat yang sangat penting untuk pembentukan karakter ada dalam lingkungan keluarga. Karakter seseorang terbentuk melalui pembiasaan dan latihan yang dilakukan secara terus-menerus. Perubahan yang ada tidak bisa dilihat secara kasat mata karena proses pembentukan karakter terjadi secara laten, berlanjut sepanjang hayat. Pendidikan karakter sejatinya mampu terwujud ketika seorang anak dan keluarga di dalamnya berjuang bersama untuk menghayati visi dan mengaktualisasikan nilai-nilai antikorupsi secara bersama-sama di dalam masyarakat.

B. Maksud dan tujuan
Maksud dan Tujuan dari mengatasi fenomena korupsi di Indonesia dengan pendidikan karakter anak adalah :
     1. Membantu mengatasi fenomena korupsi di Indonesia melalui pendidikan anak usia dini
     2. Mencegah fenomena korupsi di Indonesia sejak usia dini
     3. Memahami kekurangan dan kelebihan anak
     4. Mampu Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam
lingkungan yang lebih luas
     5. Memberi kemampuan dalam menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan usia
     6. Mengenalkan pemanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab

C. Pembahasan masalah
     Cara mengatasi mengatasi fenomena korupsi di Indonesia dengan pendidikan karakter anak:
     1. Adanya kesadaran keluarga untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan pemilihan pendidikan yang dianggap paling baik, dan dengan tidak bersifat acuh tak acuh terhadap lingkungan. Kesadaran keluarga dalam memilih pendidikan yang sesuai dengan hati nurani yang dianggap paling baik dan tidak menerima suap merupakan salah satu langkah untuk menghindari adanya kasus korupsi.
     2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif pada anak, yaitu mengutamakan kepentingan nasional. Penanaman nasionalisme sejak dini pada generasi penerus bangsa juga sangat diperlukan agar mereka mencintai bangsa dan negara indonesia diatas kepentingannya sendiri sehingga kelak jika menjadi pemimpin ia akan menjadi sesosok pemimpin yang memikirkan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadinya.
     3. Para pemimpin dan pendidik memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi melalui tindakan sehari-hari. Para pendidik saat ini haruslah menjadi teladan yang baik bagi generasi penerus bangsa, yaitu sesosok pemimpin yang jujur, adil, dan anti korupsi.
     4. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pendidikan, melalui penyederhanaan pengelolaan pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan dana yang seharusnya dapat digunakan seefisien mingkin. Serta untuk membentuk sistem baru yang terorganisir dengan adil dan jauh dari korupsi.
     5. Adanya sistem penerimaan peserta didik yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
     6. Penetapan sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Itu sulit berjalan dengan baik, bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarganya. Maka, agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, kepada mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
     7. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
     8. Perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang tepat untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi Khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi anehnya cara ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan.
     9. System mengajar. Peran orang tua sangat penting untuk memotivasi anaknya dalam belajar. Tingkat keberhasilan anak dalam belajar tidak luput dari motivasi orang tua. Di samping orangtua, Pendidik adalah pendidik utama (yaitu di sekolah). Dominasi pengaruh Pendidik terhadap perkembangan anak didik cukup dapat dirasakan. Ketika seorang anak didik mulai masuk dalam dunia sekolah, kata-kata dan perilaku Pendidik lebih memperoleh perhatian anak didik dibanding kata-kata dan perilaku orangtua. Ucapan Pendidik diingat dan dipercaya anak didik sedemikian rupa, bahkan cara Pendidik berkata-kata dan berjalan ditiru dengan tepat. Selain itu, keberhasilan pendidikan karakter juga ditentukan oleh tutur kata Pendidik. Bahasa yang dilontarkan Pendidik harus bermuatan kebajikan dan kalimat-kalimat positif. Pendidik yang doyan mengeluarkan kata-kata kasar bahkan makian tentu saja bertentangan dengan semangat pendidikan karakter. Bahasa kebajikan merupakan salah satu bagian dalam pendidikan karakter yang tidak hanya membentuk siswa agar baik secara akademis tetapi juga berperilaku.

D. Kesimpulan
     Dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Pendidik harus mampu menjadi modelnya. Seorang Pendidik tidak akan mampu membuat anak didiknya rajin, tepat waktu, bertanggung jawab dan lain sebagainya, jika Pendidik tersebut tidak lebih dulu mempraktikkannya. Negeri kita ini tidak hanya membutuhkan pendidikan karakter, tapi negeri ini juga sangat membutuhkan teladan dari “pendidikan karakter di sekolah” (Pendidik) dan teladan pendidik karakter dari semua komponen bangsa (orangtua dan masyarakat). Dengan demikian keinginan untuk membentuk generasi Indonesia yang santun, sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan memiliki kecerdasan intelektual dan moral sebagai modal dalam membangun kreatifitas dan daya inovasi dapat terwujud sesuai harapan.

Daftar pustaka
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama . Jakarta Rosidi Ajib.2006.Korupsi Dan Kebudayaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya Dewi, Nurfita K. Pendidikan Karakter Antikorupsi: Kajian Implementasi dan Permasalahan. Jakarta : 2011.



Untuk lebih lengkap lihat Makalah Mengatasi Fenomena Korupsi di Indonesia dengan Pendidikan Karakter Anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar